Archive for December, 2010


Allah swt. telah memuliaakan umat ini dengan Islam, dan memerintahkan-nya untuk mengimplementasikan-nya. Dia telah menurunkan Islam sebagai cara hidup yang unik. Sebuah pola yang berbeda dalam masalah konsepnya dan peraturan-peraturannya, sebagai sesuatu yang sempurna dan sistem menyeluruh yang mengatur semua urusan kehidupan. Allah swt. berfirman:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imran 3 : 110). Read More…


Yesus (Isa dalam bahasa Arab) adalah Rasul kedua terakhir dan para Nabiullah yang telah dikirimkan kepada seluruh Ummat manusia. Dia dipercaya oleh lebih dari 1,5  miliyar ummat Muslim di seluruh dunia terutama di negeri Timur. Yesus seperti banyak Nabi sebelumnya, menyerukan kepada kaumnya untuk tidak hanya mengatakan bahwa mereka beriman pada Tuhan tetapi juga menaati dan menerima hukum Sang Pencipta. Read More..

Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran agama Islam tentunya menempati posisi yang signifikan. Mengingat posisinya yang signifikan itu maka diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan eksistensi al-Qur’an. Selain al-Qur’an, setiap muslim juga mengenal adanya sumber hokum yang kedua yakni Hadis atau Sunnah, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi. Read More Broo…

Hadis Nabi Muhammad saw. selain  sebagai sumber  ajaran  Islam yang kedua setelah al-Qur’an, juga berfungsi sebagai sumber sejarah dakwah  atau perjuangan Rasulullah. Hadis juga mempunyai fungsi penjelas bagi al-Qur’an, menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum dan menafsirkan ayat-ayat    al-Qur’an. Memposisikan hadis secara sturktural sebagai sumber ajaran Islam yang kedua atau secara  fungsional sebagai bayan (penjelasan) terhadap al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan. Read More Bro…

Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan  secara kreatif.Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya. Read More Bro…

Al-Qur’a>n merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi seluruh disiplin ilmu ke Islaman. Kitab suci ini, di samping menjadi al-huda (petunjuk), juga sebagai al-bayyinah (penjelas) serta menjadi al-furqa>n (pemisah antara yang benar dan yang salah) yang diturunkan dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun lamanya.  Pengumpulan dan penyusunan al-Qur’a>n dalam bentuk seperti saat ini, tidak terjadi dalam satu masa, tapi berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok. Read More Bro…

Al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan secara umum. Dia juga salah seorang yang berotak cemerlang yang memiliki berbagai keunggulan dan jasa dalam berbagai aspek. Salah seorang tokoh di masanya yang sangat menguasai ilmu agama. Ilmu pengetahuan yang dikuasainya mencakup Fiqih, Ushul, Ilmu Kalam, Logika (Mantiq), Filsafat, Tasawuf, Akhlak dan yang lain. Dia telah menyusun buku tentang semua bidang tersebut yang telah diakui kedalamannya, orisinalitas, ketinggian dan memiliki jangkauan yang panjang. Read More Bro…

By. Bakri, S.Pd.I

A. Latar Belakang

Al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir Islam dan sekaligus tokoh pemikir kemanusiaan secara umum. Dia juga salah seorang yang berotak cemerlang yang memiliki berbagai keunggulan dan jasa dalam berbagai aspek. Salah seorang tokoh di masanya yang sangat menguasai ilmu agama. Ilmu pengetahuan yang dikuasainya mencakup Fiqih, Ushul, Ilmu Kalam, Logika (Mantiq), Filsafat, Tasawuf, Akhlak dan yang lain. Dia telah menyusun buku tentang semua bidang tersebut yang telah diakui kedalamannya, orisinalitas, ketinggian dan memiliki jangkauan yang panjang.

Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa pada sisi lain, dia adalah seorang kutub tasawuf, pejuang spiritual dan tokoh pendidikan serta tokoh dakwah kepada Allah swt. Dia adalah seorang ilmuwan dan sekaligus ahli ibadat, da’i, pembaharu, juga insan rabbani yang berilmu, beramal dan juga sebagai pengajar.[1]

Al-Ghazali seperti yang diketahui dari beberapa literatur adalah sosok yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang begitu luas. Dia telah menggeluti dan mengkaji pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat dan teologi, mistisisme atau sufi, ajaran-ajaran mistik gereja Kristen. Oleh karena itu, dia adalah seorang sarjana, filosof, dan ahli kalam.[2]

Sosok al-Ghazali merupakan seorang tokoh kontroversial yang sering mengundang berbagai polemik mengenai ajaran-ajaran, pemikiran dan karyanya. Ada yang menyanjungnya setinggi langit dan ada pula yang merendahkannya sampai dasar lautan. Mayoritas umat Islam hingga dewasa ini menyanjungnya bahkan secara berlebihan, beberapa karyanya masih banyak menghiasi dunia pemikiran Islam dewasa ini, dan juga sangat banyak para pencari ilmu yang meneliti dan membahas pemikiran-pemikirannya yang kemudian dituangkan dalam berbagai tulisan.

Sebagian kaum orientalis, yang diikuti oleh orang-orang Arab modern berpendapat bahwa al-Ghazali bertanggung jawab atas kehancuran filsafat dan pemikiran bebas, mengangkat akademi tradisional dan mengalahkan akademi rasional. Bahkan dia bertanggung jawab atas hancurnya istana keilmuan dan peradaban Islam secara menyeluruh.[3]

Oleh karena itu sangat menarik untuk membahas lebih dalam lagi mengenai sosok al-Ghazali sebenarnya dan bagaimana perjalanan hidupnya, kontroversial pemikirannya dan karya-karyanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1.      Bagaimana biografi Imam al-Ghazali?

2.      Bagaimana kritik Imam al-Ghazali terhadap para filosof?

3.      Bagaimana pengembaraan intelektual dan pergolakan batin al-Ghazali menuju kehidupan sufistik?

4.      Bagaimana konsep al-Ghazali tentang makrifat?

5.      Bagaimana al-Ghazali mendamaikan syari’ah dan tasawuf?

6.      Bagaimana Pengaruh al-Ghazali di dunia Islam?

PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Ghazāli

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.[4] Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.[5]

Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Dia sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan pengabulan Allah atas doanya, dia meninggal dunia pada saat anaknya masih usia anak-anak.

Sebelum dia meninggal dunia, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkapkan kalimat bernada menyesal: ”Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka.”[6]

Akan tetapi hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada saat itu, dan dari sini pulalah awal perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak akan membawanya menjadi ulama terkenal di dunia Islam bahkan sampai disebut sebagai Hujjatul Islam dan Zain ad-Dîn.[7]

Dia mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Setelah dirasa cukup, dia pindah ke Jurjan dan memasuki pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nashr al-Isma’ili dengan mata pelajaran yang lebih luas meliputi semua bidang agama dan bahasa. Setelah tamat di sini, dia kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj (wafat 487 H). Al-Ghazali belajar pada gurunya tersebut selama 20 tahun.[8]

Setelah dua atau tiga tahun dia di Thus, dia berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, dalam beberapa ilmu keislaman. Di Nisyapur dia juga melanjutkan pelajaran tasawwuf  kepada Syekh Abu Ali al-Fādhil ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadi (wafat 477 H). Di samping belajar tersebut dia juga mulai mengajar dan menulis dalam ilmu fiqhi. Pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk, yang menarik banyak sarjana dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan kemuliaan, Pada suatu saat yang tidak bisa dijelaskannya secara khusus, tetapi dapat dipastikan sebelum perpindahannya dari Baghdad, al-Ghazali mengalami fase skeptisisme, dan menimbulkan awal pencarian yang penuh semangat terhadap sikap intelektual yang lebih memuaskan dan cara hidup yang lebih berguna.[9] Paham ini kemudian dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya.[10]

Setelah Imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasawuf sudah cukup dikuasainya, dia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar di kalangan ulama dan intelektual.

Pada tahun 483 H/1090 M, dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat dan lain-lainya.[11]

Para mahasiswa sangat menyukai kuliah-kuliah yang disampaikan oleh al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang dimilkinya. Para mahasiswa yang jumlahnya ratusan tersebut sering terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika dia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama.

Al-Ghazali mencapai kejayaan tertinggi sebagai ulama dilihat dari segi lahirnya saja, tetapi dari segi batinnya ia mulai mengalami krisis intelektual dan kerohanian yang amat dalam. Keraguannya pada persoalan-persoalan yang ada mulai muncul dan ilmu-ilmu yang tadinya diajarkan mulai dikritiknya. Dia merasa kekosongan dalam uraian-uraian dan pikiran-pikiran di kalangan para Fuqaha. Pemikiran di kalangan ahli kalam mengenai perkara-perkara doktrinal tidak memberinya keyakinan karena hal tersebut hanya membawa agama pada sistem ortodoksi dan perbincangan yang ada menjadi sangat dangkal.[12]

Pada tahun 488 H/1095 M ia menderita penyakit jiwa yang membuat dirinya secara fisik tak dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan dalih untuk melaksanakan haji, tetapi sebenarnya itu hanya dalih untuk meninggalkan status guru besarnya dan karirnya secara keseluruhan selaku ahli hukum dan teolog.[13] Perjalanannya setelah meninggalkan Baghdad dan pergolakan batinnya menuju sufistik, akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadis dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz-Dzahābi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadis dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahīh Bukhāri dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”[14]

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats-Tsābat ‘Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz-Dzahābi dalam Siyār A’lam Nubāla 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqāt Asy Syafī’iyah 6/201).

Dalam muqaddimah kitab “Ihyā ‘Ulūmuddīn” Dr. Badawi Thabana menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab.[15] 21 kitab kategori Kitab Filsafat dan Ilmu Kalam, 7 kitab kategori Kitab Ilmu Fiqh dan Ushulul Fiqh, 17 kitab kategori Kitab Ilmu Akhlak dan Tasawuf, dan 2 kitab kategori Kitab Ilmu Tafsir. Dari sini terlihat bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama’ yang lintas disiplin ilmu. Sehingga tidaklah berlebihan jika dia dijuluki sebagai Hujjatu al-Islam, karena keluasan dan kedalaman ilmunya serta semangatnya yang berkobar dalam membela Islam.

 

B. Kritik al-Ghazali terhadap para Filosof

Kritik al-Ghazali atas metafisika sebenarnya meliputi kritiknya terhadap Islamic Aristotelianism (pemikiran filosof Muslim yang dipengaruhi oleh Aristoteles). Yang berkembang menjadi teologi rasional berdasarkan metafisika Aristoteles. Karena teologi ini bersifat rasional, maka asumsi dasarnya ialah bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalan-persoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh al-Ghazali. Dan penolakan ini sebagaimana terjadi melibatkan pembuktian kesalahan-kesalahan asumsi tersebut secara rasional. [16]

Dalam kitab Munqiz min al-Dhalāl, al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi tiga golongan.[17]

1.      Filosof Materialis (Dahriyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan

2.      Filosof Naturalis (Thabi’iyun)

Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka merasa cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan hari berbangkit.

3.      Filosof Ketuhanan

Mereka adalah filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.

Menurut al-Ghazali, filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok:[18]

  1. Filsafatnya yang harus dikafirkan (orang yang menganut pendapat ini dianggap kafir)

2.      Filsafat yang dianggap bid’ah (penganutnya berarti telah berbuat bid’ah)

3.      Filsafat yang tidak harus dingkari sama sekali.

Untuk lebih jelasnya, pengelompokan filsafat di atas dapat dilihat dari pembagian ilmu filsafat yang dikemukakan al-Ghazali. Ia membaginya menjadi enam  bidang: ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika dan metafisika (ketuhanan). Selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syariat Islam kendatipun ada hal negatif yang terjkandung dalam ilmu-ilmu tersebut.

Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahlul bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah yaitu:[19] Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir yaitu:

1.      Alam dan semua substansi qadim

2.      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam

3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.

Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai ketiga hal tersebut oleh al-Ghazali:

 

1. Masalah qadimnya Alam

Persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan paling besar dalam kitab Tahafut al-Falasifah, hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan keqadiman alam.[20] Qadim mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh karena itu dia membawa pada pengertian tidak diciptakan.[21] Dengan demikian dapat dipahami hanya Tuhan yang qadim.

Para filosof berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat seperti cahaya dari matahari. Untuk menopang pendapat ini, menurut al-Ghazali, para filosof muslim mengemukakan argument sebagai berikut:[22]

2. Masalah Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (parsial)

Para filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.[23]

Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut al-Ghazali mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka yang berubah adalah dia bukan Anda. Demikianlah pula ilmu Allah, Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan.[24] Untuk memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya:

a. QS Yunus (10): 61…..Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)

b.      QS Al-Hujurat (49): 16….. dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Perbedaan pendapat antara al-Ghazali dan para filosof muslim tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut al-Ghazali berbedanya obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedangkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.[25]

3. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam.[26]

Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Juga tidak pula menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam madalah metafisika (sam’iyyat).[27]

Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat)  yang menyedapkan pandangan mata” Demikian pula Firman-Nya:”Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang Maha Sempurna, perpaduan di antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.[28]

Para filosof muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia dan adanya manusia yang cacat, pincang, dan yang lainnya, maka surga nanti akan ada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian maka akan terjadi proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai kain.

Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof muslim hanya perbedaan interpretasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog Al-Asy’ary, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nishamiyah Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof muslim diwarnai pemikiran rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.[29]

A. Pengembaraan Intelektual dan Pergolakan Batin menuju kehidupan Sufistik

Sebagaimana telah diceritakan pada pembahasan pertama dalam riwayat hidup al-Ghazali, bahwa pada tahun 484 H, saat al-Ghazali berada di puncak kejayaan karirnya, dimana banyak mahasiswa yang mengagumi dan mengikuti kuliahnya, begitu pula para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya. Pada saat itu pula al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah (fisioterapi).[30] Hingga akhirnya ia meninggalkan pekerjaanya itu dan meminta saudaranya ahmad untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar dan ia sendiri melakukan perjalanan (pengembaraan) untuk mencari jawaban atas keragu-raguannya yang akhirnya nanti akan membawa beliau menuju kehidupan sufistik.

Keputusan al-Ghazali meninggalkan karir dan menolak semua pengetahuan yang telah dicapainya sangat mengejutkan sekaligus membingungkan setiap orang yang mendengarnya. Al-Ghazali menuangkan semua alasan-alasan keputusannya itu dalam kita Al-Munqîdh min-al-Dhalāl.[31] Di dalam kitab itu, al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan mempelajari sufisme ditemukan jalan menuju Tuhan, yaitu jalan yang tidak sama dengan yang dialami selama ini.

Dengan merenungkan kedudukannya di Baghdad, al-Ghazali merasakan adanya belenggu tangannya; Ia menganggap karya terbaiknya yang memuat kajian dan ajarannya tidak mempunyai arti penting ataupun membantu mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab motif yang mendorong di belakang penulisan karyanya itu hanya karena ambisi demi popularitas untuk memperoleh keuntungan sendiri.

Perjalanan pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M (menurut versi lain 489 H/1096 M). Al-Ghazali memasuki kota tersebut dengan berpakaian orang miskin, duduk di depan pintu Khanqah Samisatiyah,[32] akhirnya seorang fakir yang tak dikenal memperkenankan ia masuk. Kemudian al-Ghazali menyibukkan diri dengan membersihkan halaman yang diperuntukkan bagi pengunjung Khanqah tersebut, dan bekerja sebagai pembantu di sana. Di Masjid Umawi ia beri’tikaf dan berdzikir di puncak menara sebelah Barat sepanjang hari dengan makan dan minum yang terbatas. Menara tersebut sekarang dikenal dengan menara al-Ghazali (Minaret of al-Ghazali). Ia memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah terus-menerus selama dua tahun di Damaskus. Al-Ghazali hidup dengan menjalani hidup asketik menggunakan pakaian yang kasar dan mengurangi makan dan minum, mempergunakan waktunya untuk beribadah. Sedangkan waktu luangnya digunakan untuk berkarya, di sinilah ia menulis karya terbesarnya Ihyā Ulūm al-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).[33]

Setelah itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya uzlah dan berzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke maqam Nabi Ibrahim as. Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia berangkat menuju Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah ke maqam Rasulullah di Madinah. Menurut beberapa penulis, setelah ia melaksanakan ibadah haji, ia berangkat menuju Mesir dan tinggal di Iskandariyah beberapa lama.[34]

Setelah itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara mengunjungi padepokan-pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud, asketis, dengan makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi sedikit bekal serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk membersihkan jiwa melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh. Penulis biografinya menulis,”sampai-sampai al-Ghazali menjadi poros (Quthb al-Wujud), suatu anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap makhluk dan sebagai petunjuk guna menggapi kepuasan terhadap Allah SWT.[35]

Pada saat Fakhr al-Muluk Jamal as-Shuhada menjdi wazir, dan menempati istananya, ia mendengar sosok al-Ghazali dan reputasi ilmunya, khususnya kehandalan dalam penyucian jiwa dan perilaku hidupnya. Maka Fakhr al-Muluk meminta restu, mengunjunginya, mendengar ceramahnya dan akhirnya meminta agar dia tidak menyia-nyiakan keistimewaannya tanpa meninggalkan buah bagi yang lainnya, dan tidak memberikan sinar bagi mereka. Wazir terus mendesak dan memohon al-Ghazali sampai ia menyetujuinya. Akhirnya al-Ghazali dibawa ke Nishapur, dan diangkat menjadi professor di Akademi Maymuna Nizamiyah, setelah tidak dapat mengelak dari permintaan pemerintah.

Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 499/1067-7. Al-Ghazali sendiri sadar bahwa hal ini kehendak Allah yang telah membangkitkan hasrat Fakhr al-Muluk agar al-Ghazali kembali membenahi keimanan umat Islam. Dia merasa keinginan mencari kedamaian dan menjauhi hidup keduniaan tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan mengasingkan diri. Lagi pula ia telah berkonsultasi dengan teman sejawat sufi yang memiliki pandangan ke depan, mereka menganjurkan agar keluar dari hidup menyendiri dan membenahi aqidah umat Islam. Ditambah lagi mimpi dari rekan sufinya yang merestui keputusannya. Sebab Tuhan telah menetapkan awal abad ini sebagai momen yang tepat (500 H). Karena Allah SWT telah menjanjikan kebangkitan agama pada tiap awal abad, dan al-Ghazali berharap bahwa inilah tugas yang dibebankan Allah padanya, dengan tekad inilah dia pergi ke Nishapur.[36]

Al-Ghazali memberikan seluruh petunjuk yang ia peroleh bagi orang lain, serta memberikan hasil-hasil selama hidup menyendiri. Al-Ghazali biasa bertukar pikiran dengan muridnya pada malam hari. Dimana ia menceritakan tentang apa yang telah menimpanya mulai sejak ia memutuskan untuk mengembara menuju Tuhan, hingga ia pergi belajar tentang sufisme di bawah asuhan al-Farmadhi. Setelah Fakhr al-Muluk meninggal, al-Ghazali kembali ke Tus, dan mendirikan akademi untuk murid mempelajari Teologi dekat kampung sufi. Pada masa ini sekali lagi ia diminta oleh wazir al-Said untuk mengajar lagi di Akademi Nizamiyah di Baghdad, tetapi al-Ghazali menolaknya.[37]

Selama di Tus, al-Ghazali mempergunakan waktunya untuk melayani orang yang memerlukan di sekelilingnya, mendalami Alquran, mempelajari hadis lagi, bergaul dengan orang shaleh, mengajar dan beribadah. Sehingga tidak ada waktu sedikitpun yang tersisa dalam menunggu “cinta” kematiannya. Sampai akhirnya al-Ghazali meninggal pada hari Senin, 14 Jumada al-Tsani 505 H bertepatan dengan 18 Desember 1111 M. dalam usia 53 tahun.[38]

B. Konsep Makrifat al-Ghazali

Menurut al-Ghazali, perjalanan tasawuf pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus hingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu al-Ghazali menekankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penerapan moral atau akhlak yang terpuji baik di sisi manusia maupun di sisi Tuhan.

Keistimewaan yang luar biasa dari al-Ghazali, bahwa dia adalah seorang pengarang yang produktif.[39] Di samping itu, keistimewaan al-Ghazali yang lain adalah uraiannya yang berhubungan dengan makrifat sebagai jalan mengenal Allah. Secara jelas al-Ghazali menguraikan makrifat sufi dari segi cara-cara pencapaian, metode, obyek dan tujuan yang jelas dan gamblang sehingga teorinya tentang makrifat dapat dipandang sebagai teori lengkap dan kompherensif  dibanding dengan teori sufi sebelumnya.

Tingkat makrifat yang terdapat dalam tasawuf, menurut al-Ghazali, adalah jalan yang membawa kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini. Makrifat dalam istilah tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab atau tabir, hilang dari depan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal yang tak dapat dilihat manusia biasa.[40] Makrifat menurut konsep al-Ghazali adalah pembangunan konsep para sufi sebelumnya. Al-Ghazali tidak hanya memberikan makrifat (pengenalan) langsung terhadap Allah sebagaimana pandangan sebagian para sufi, tetapi termasuk dalam pengertian makrifat adalah pengenalan terhadap semesta ini.

Menurut al-Ghazali makrifat bukan hanya sekedar pengenalan biasa tetapi berupa ilmu yang tidak diragukan kebenarannya atau al-Ilmu al-Yakin. Tersingkap secara jelas, tidak hanya terdapat keraguan, tidak salah dan keliru. Dikatakan pula makrifat adalah qalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi. Qalbu menurutnya ada dua macam, yaitu qalbu jasmani dan qalbu rohani. Menurutnya, qalbu adalah cermin, ilmu adalah pantulan gambar realitas yang ada di dalamnya. Jika cermin tidak bening, maka dia tidak dapat memantulkan realitas ilmu. Cermin qalbu kelabu karena hawa nafsu, ketaatan kepada Allah harus berpaling dari tuntutan hawa nafsu. Dengan berpaling, keinginan hawa nafsu, qalbu akan cerah dan cemerlang.[41]Harun Nasution juga berpendapat bahwa makrifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui secara sistematis yang meliputi aspek keilahian (peratutan Tuhan) yang meliputi segala yang ada.[42]

Adapun kesimpulan tasawuf menurut ajaran tasawuf al-Ghazali, bahwa maqam mahabbah akan dapat dicapai dengan tingkat makrifat yang merupakan tujuan akhir dari seseorang sufi karena itu jalan yang harus ditempuh seorang sufi bermula dari pembersihan batin secara keseluruhan dan segala sesuatu selain Allah, lalu tenggelam secara keseluruhan dalam zikir Allah. Menurut al-Ghazali, makrifat dan Mahabbah lah setinggi-tinggi tingkat yang dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari makrifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.

C. Mendamaikan antara Syari’ah dan Tasawwuf

Menurut pemahaman kebanyakan umat Islam, agama Islam mencakup berbagai aspek kehidupan manusia,[43] Islam merupakan ajaran aqidah dan syari’ah, kalau aqidah mengenai kepercayaan dan keyakinan, sedangkan syari’ah mengenai selainnya dalam artian mencakup ibadah, mu’amalah dan akhlak. Islam diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas waktu dan tempat tertentu, bahkan Alquran menyatakan lingkup keberlakukan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Adalah untuk seluruh umat manusia di manapun mereka berada dan bahkan kepada seluruh alam semesta.[44]

Dalam aqidah Islam memberikan kategorisasi antara dua bagian yang sempurna yaitu lahir dan batin, yang dimaksud dalam hal ini ialah syari’ah dan haqiqah (tasawuf). Yang pertama disebut zahir sedangkan yang kedua disebut batin yaitu bagian dalam diri manusia. Antara syari’ah dan tasawuf bagaikan kulit dan isi atau seperti lingkaran dan titik pusatnya.

Al-Ghazali sebagai seorang ulama besar sanggup menyusun kompromi antara syari’ah dan tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan penganut syari’ah maupun kalangan sufi. Al-Ghazali mengikat tasawuf dengan dalil-dalil  nash. Dan dari judul-judul karyanya yang paling monumental ialah Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Nampak betapa besar jasa al-Ghazali yaitu mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan dengan penuh ketekunan.[45]

Apa yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai, yaitu menghidupkan dan memperdalam kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga terpancar dalam kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya. Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat dalam pengamalan tasawufnya dengan syari’ah dan ayat-ayat Alquran dan hadis, tasawuf mulai mendapat hati dari ulama ahli syari’ah dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu ke-islaman yang paling kaya kerohanian dan tuntunan moral. Dengan demikian tasawuf bisa berfungsi sebagai obat yang paling mujarab untuk membebaskan umat Islam dari kekakuan dan kekeringan nasionalisme fiqhiyyah dan penyakit spritualisme ilmu kalam.[46]

Al-Ghazali secara tegas mengatakan bahwa antara syari’ah dan tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Ia membantah pendapat sebagian kalangan yang mengatakan adanya pertentangan antara syari’ah dan tasawuf. Al-Ghazali mengatakan “ Barang siapa yang berpendapat bahwa antara haqiqah dan syari’ah bertentangan atau yang batin bertolak belakang (bertentangan) dengan yang lahir, maka kekufuran lebih dekat padanya daripada keimanan”.[47]

Bahkan ketika al-Ghazali menjelaskan tentang jalan untuk menuju kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat maka satu-satunya jalan ialah ilmu dengan amal (ibadah): “ Kaum Sufis dan Filosof yang beriman kepada Allah dan hari akhirat secara keseluruhan, walaupun mereka berbeda dalam tatacara pemahaman secara garis besar mereka seluruhnya sepakat bahwa sesungguhnya kebahagiaan adalah dalam ilmu dan ibadah. Sedangkan pemikiran mereka berada dalam perincian ilmu dan amal.”[48]

Dari serangkaian keterangan-keterangan tersebut di atas jelas kiranya bahwa penyelarasan antara hubungan syari’ah dan tasawuf haruslah dipadukan antara keduanya, berjalan beriringan, tidak mengambil (mengamalkan) salah satunya lalu meninggalkan yang lainnya, sama sekali tidak, jalan kebahagiaan adalah perpaduan antara ilomu dan amal, atau antara syari’ah dan tasawuf.

Dalam konteks ini al-Ghazali secara konkrit telah berhasil merumuskan bangunan ajarannya yaitu konsepsinya yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengamalan sufisme dan syari’ah seperti yang tersusun dalam karya monumentalnya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Dan ini pulalah yang menjadi bagian analisa terakhir dari pembahasan ini dengan memberikan contoh kasus khususnya tentang shalat, bagaimana gambaran praktis hubungan syari’ah dan tasawuf (tatacara amal lahir dan batin shalat.

Dalam melakukan ibadah khusunya sholat, di mana seseorang hanya dapat mencapai kesempurnaan dan dapat diterima sholatnya jika memenuhi syarat-syarat tertentu, baik yang dikemukakan oleh ahli syari’ah maupun para sufi. Dalam menegakkan sahalat seseorang sebelumnya harus membersihkan diri (thaharah). Menurut ahli fiqh membersihkan diri (thaharah) ialah menyucikan badan atau anggota tubuh dari najis, tempat shalat, sedangkan menurut ahli tasawuf, membersihkan diri berarti bersih selain di atas harus bersih pula pakaian yang dipakai dalam arti harus diperoleh dari sumber yang halal. Sebelum berwudhu’ menurut ahli fiqh seseorang harus membaca bismillah, sedangkan menurut sufi selain melakukan hal-hal di atas seseorang haruslah istighfar dalam rangka pembersihan jiwa.

Kompromi yang dicetuskan al-Ghazali mampu memberikan pemahaman kegamaan dalam beribadah kepada Allah, pada satu sisi peribadatan ahli fiqh yang telah cenderung hanya mementingkan segi formalitas belaka telah mendapat reaksi dari kaum yang ingin menghayati agama dengan lebih mendalam dalam beribadah. Beribadah kepada Allah yang formal sudah menurut tatanan syari’ah Islam, tetapi hati sufi tidak hadir lagi dalam beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam dengan kekhusyu’an jiwa. Di sisi lain kaum Bathiniyyah (sufi) beribadah dengan diisi perasaan khusyu’. Dan ikhlas adalah menurut tatanan ajaran Islam itu sendiri.

D. Pengaruh Al-Ghazali di Dunia Islam

Pengaruh al-Ghazali sangat luas, bahkan selama ia masih hidup. Kuliah-kuliah al-Ghazali dan karya-karyanya diterima secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran al-Ghazali terkenal, ketika al-Ghazali masih hidup, di kalangan komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur dan di Barat. Sekalipun sudah hampir seribu tahun al-Ghazali meninggalkan kita, namun ilmunya, tetesan kalam buah penanya mengekal abadi. Sampai kini masih sangat berpengaruh karena diperlukan dan ditelaah oleh umat manusia dari berbagai bangsa dan agama.[49]

Tokoh al-Ghazali yang menjadi fokus pembahasan menempati kedudukan yang unik dalam sejarah agama dan pemikiran Islam karena kedalaman ilmunya, keorisinilan pemikirannya, dan kebenaran pengaruhnya di kalangan Islam. Di samping ahli agama, pendidikan dan hukum Islam, ia juga memiliki ilmu yang luas tentang filsafat, tasawuf, akhlak, dan masalah kejiwaan serta spiritualitas Islam. Di belahan timur dunia Islam ia amat berpengaruh bagi masyarakat Islam Sunni dan memperoleh sukses dalam memimpin mereka, sedangkan di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil. Sampai sekarang pengaruh al-Ghazali masih terus ada di seluruh dunia Islam.[50]

Di Timur al-Ghazali mendapat sukses di bidang pembaharuan mental dan spiritual umat, sehingga pendapat-pendapatnya merupakan aliran yang penting dalam Islam. Bukunya Ihyā ‘Ulūm al-Dîn adanya bukti dari adanya usaha tersebut. Pada waktu itu juga, ia berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari pengaruh negatif pemikiran filsafat Yunani, ilmu Kalam, dan aliran kebatinan. Dengan pembelaannya itu, ia berhasil memperbaiki keadaan masyarakat Islam, dari pemujaan akal atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah SWT, yaitu dalam arti hukum syariat menguasai akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan dapat dicapai. Berdasarkan keterangan di atas , maka tidak salah apabila orang menjuluki al-Ghazali sebagai hujjat al-Islām (pembela agama Islam), Zain al-Dîn (permata agama Islam) dan Mujaddid.

Di belahan barat dunia Islam, tulisan al-Ghazali tidak saja mempengaruhi pemikir Islam seperti Ibn Rusyd, tetapi juga  mempengaruhi para pemikir Kristen dan Yahudi seperti Thomas Aquinas dan Blaise Puscal,[51] dan filsuf-filsuf Barat lainnya, sebagaimana diakui oleh Asim Palaeros, banyak persamaannya dengan al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak diperoleh dari akal pikiran tetapi harus hati dan rasa.[52]

Ketidakgentarannya dalam mencari kebenaran melalui kegandrungannya pada ajaran-ajaran tasawuf banyak pula mendatangkan kritikan dan pertentangan di kalangan Mutakallimin, baik ketika al-Ghazali masih hidup maupun setelah meninggalnya. Di Andalusia, seorang Qadhi dari Cordoba, Abu Abdullah Muhammad bin Hamdin, menyalahkan karangan-karangan al-Ghazali. Para Qadhi di Spanyol pada umumnya menerima pengutukan itu, hasilnya seluruh karya-karya al-Ghazali dibakar. Masyarakat dilarang memiliki karya-karya al-Ghazali dengan ancaman sangsi hukuman mati. Termasuk di dalamnya kitab Ihya.[53]

Karya-karya al-Ghazali pada waktu yang sama beredar juga di Afrika Utara. Sultan Marakash, Ali bin Yusuf bin Tashfin, pemimpin pada daerah tersebut adalah seorang yang berpendirian keras dan fanatik terhadap masalah-masalah Agama, menerima saran dari ulama ortodoks yang memiliki otoritas padda masa itu. Ia juga seorang fanatik mazhab Maliki dan menganggap bahwa filsafat dan teologi keduanya dapat merusak keyakinan, aqidah yang benar. Oleh karena itu, ia melarang beredarnya buku-buku al-Ghazali dan mengeluarkan perintah agar membakar seluruh karya al-Ghazali.[54]

Di antara pengeritik lainnya adalah Ibnu Rusyd, salah seorang filosof Spanyol. Ia menganggap al-Ghazali tidak konsisten dalam doktrin emanasi, ia juga  mengeritik karya-karya al-Ghazali khususnya kitab Tahāfut al-Falāsifah dengan mengarang kita Tahāfut al- Tahāfut. Dia menganggap bahwa ajaran al-Ghazali kadang-kadang merusak syari’ah, terkadang merusak filsafat, terkadang merusak keduanya. Namun juga menguntungkan keduanya. Dan masih banyak pengeritik lainnya yang memberikan perhatian khusus pada ajaran-ajaran al-Ghazali.

 

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan dalam beberapa kesimpulan berikut ini :

a)      Nama lengkap al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghāzalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani al-Thusi. Kemudian ia kembali ke Thus dan mengkaji ulang atas semua yang telah dipelajarinya sambil belajar tasawuf dengan syekh Yusuf al-Nassaj selama 20 tahun.kemudian berangkat kembali melanjutkan pelajaran ke Nisyapur dan belajar pada Abul Ma’al al-Juwaini (wafat 478 H) yang bergelar Imam al-Haramain, selanjutnya al-Ghazali pergi ke kampus Nizam al-Mulk. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad.

b)      Kritikan al-Ghazali pada para filosof yaitu para fiosof muslim yang menganut paham Aristotelesism yakni terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi, yang dtuangkannya dalam kitab Tāhafut al-Falāsifah terfokus pada tiga pembahasan yaitu tentang keqadiman alam, ketidaktahuan Tuhan akan yang juz’iyyat, dan tidak adanya kebangkitan jasad setelah mati.

c)      Pengembaraan intelektual Al-Ghazali dimulai sesaat setelah dia melepaskan tugas-tugasya sebagai Guru Besar di Kampus Nidzamiyyah Baghdad. Perjalanan pertamanya dimulai dengan mendatangi Damaskus pada tahun 488 H/1095 M. Setelah itu ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di sini setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya uzlah dan berzikir. Ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke maqam Nabi Ibrahim as Setelah itu al-Ghazali kembali menjalani kehidupan sebagai pengembara mengunjungi padepokan–pedepokan dan tempat-tempat keramat, hidup zuhud, asketis, dengan makan roti kering, berpakaian kasar, dengan tas kecil berisi sedikit bekal serta tongkat di tangan. Tujuan utamanya tidak lain untuk membersihkan jiwa melalui disiplin diri dan amalan-amalan shaleh.

d)     Menurut al-Ghazali makrifat bukan hanya sekedar pengenalan biasa tetapi berupa ilmu yang tidak diragukan kebenarannya atau al-Ilmu al-Yakin. Tersingkap secara jelas, tidak hanya terdapat keraguan, tidak salah dan keliru. Dikatakan pula makrifat adalah qalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi.

e)      Al-Ghazali sebagai seorang ulama besar sanggup menyusun kompromi antara syari’ah dan tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan penganut syari’ah maupun kalangan sufi. Al-Ghazali mengikat tasawuf dengan dalil-dalil nash. Dan dari judul-judul karyanya yang paling monumental ialah Ihyā ‘Ulūm al-Dîn. Nampak betapa besar jasa al-Ghazali yaitu mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama dan mengamalkan dengan penuh ketekunan.

f)       Pengaruh al-Ghazali sangat luas bahkan selama ia masih hidup, kuliah-kuliah dan karya-karyanya diterima secara luas. Hal itu menyebabkan ajaran-ajaran al-Ghazali terkenal, di kalangan komunitas muslim yang berbahasa Arab, baik di Timur maupun di Barat. Beberapa kalangan sangat menyanjung hasil karya al-Ghazali dan sebaliknya banyak juga di kalangan pemikir Islam yang menolak karyanya bahkan berusaha menghancurkan karya-karya al-Ghazali. Satu yang tetap dicatat oleh sejarah bahwa pemikiran-pemikiran al-Ghazali hingga saat ini masih hidup dan sangat kental dalam komunitas Islam Sunni.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, Cet.II; Mizan, Bandung, 2002.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyā ‘Ulūm al-Dîn, Juz I Beirut; Dar al-Fikr, 1991.

Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim; Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2004.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet.V; PT Bulan Bintang, Jakarta, 1991.

Isa, H. Ahmadi, Tokoh-tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh, Cet. I; PT Raja Grafindo, 2000.

Jaya, Yahya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Cet. I; Rahama: Jakarta, 1994.

Kholid Syamhudi, Imam al-Ghazali, dipublikasikan oleh http://www.muslim.or.id, didownload pada tanggal 19 November 2010.

Mubarak, Zaky, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli, Mesir; Dar al-Kitab al-Arabiy al-Taba’at al-Nasyr, 1968

el-Muhammady, Uthman, Muhammad www/Scribd/com/doc/2917072/Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali oleh. Didownload pada tanggal 19 November 2010.

An-Nadawi, Abul Hasan Ali, Rijālul fikri wad Da’wati fil Islām, Darul Qalam.

Nasution, Harun, Islam Rasional, Cet.III; Mizan, Bandung, 1995.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Cet.III; Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002.

Poerwantama, dkk, Seluk-beluk Filsafat Islam, Cet.IV; Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

Qardhawi, Yusuf, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, Cet.II; Risalah Gusti, Surabaya, 1997.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Cet.II; PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Smith, Margareth, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, diterjemahkan oleh: Drs. Amrouni, M.Ag , Riora Cipta; Jakarta, 2000.

Sudarsono, Filsafat Islam, Cet. I, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Zar, H. Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Cet.I; PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004.

___________, Mizān al-‘Amal, ttp: Maktabah  wa Mathba’ah Muhammad “ Ali Subhy wa Auladuh, 1328 H/1976 M.

___________, Al-Munqîz min al-Dhalāl, Terjemah Abdullah bin Nuh, Cet.I; Tinta Mas; Jakarta, 1996.

___________, Tahāfut al-Falāsifah, Sulaiman Dunya (ed) Kairo; Dar al-Ma’arif, t.th.

___________, Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.

___________, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Ibn Rusy Dalam Tiga Metafisika, Pustaka al-       Husna, Jakarta, 1981.

___________, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang; Jakarta, 1991.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1]Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti,1997),     h. 9.

 

[2]Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, diterjemahkan oleh Amrouni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 259.

 

[3]Yusuf Qardhawi, op. cit., h. 174.

 

[4]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 77.

 

[5]Zaky Mubarak, Al-Akhlāk “Inda al-Ghazāli ( Mesir: Dar al-Kitab al-Arabiy al-Taba’at al-Nasyr, 1968), h. 47.

 

[6]Ibid.

 

[7]Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Juz I; Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 3.

 

[8]Ibid.

 

[9]M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam (Cet.II; Bandung: Mizan, 2002), h. 28-29.

 

[10]Hasyimsyah Nasution, op.cit.,  h. 78.

 

[11]A. Hanafi, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 197.

 

[12]Muhammad Uthman el-Muhammady, www/Scribd/com/doc/2917072/Pemurnian Tasawuf oleh Imam Al-Ghazali/. Didownload pada tanggal 19 November 2010.

 

[13]M. Amin Abdullah, loc. cit.

 

[14]Kholid Syamhudi, Imam al-Ghazali, dipublikasikan oleh http://www.muslim.or.id, didownload pada tanggal 19 November 2010.

 

[15]Zainuddin dkk, Seluk-beluk Pendidikan dari al-Ghazali, ( Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara, t.th.),  h. 19-21.

 

[16]M. Amin Abdullah, op.cit, h. 58.

 

[17]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Munqiz min al-Dhalāl, diterjemahka oleh Abdullah bin Nuh, (Cet. I; Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 14-24.

 

[18]Yusuf Qardhawi, op.cit., h. 27.

 

[19]Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, Sulaiman Dunya (ed) (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), h. 85, sebagaimana dikutip oleh Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Cet.III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 83-84.

 

[20]M. Amin Abdullah, op.cit., h. 62.

 

[21]Harun Nasution, Islam Rasional (Cet.III; Bandung: Mizan, 1995), h. 47.

 

[22]Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar-al-Ma’arif, 1962),      h. 86-87.

 

[23]Al-Ghazali, Tahafut, op.cit., h. 206-207.

 

[24]Ibid., h. 213.

 

[25]Sirajuddin Zar, op. cit., h. 171.

 

[26]Al-Ghazali, Tahafut, op. cit., h. 284.

 

[27]Ibid., h. 288-289.

 

[28]Ibid., h. 289-290.

 

[29]Sirajuddin Zar, op, cit., h. 173.

 

[30]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet.V; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), h. 135.

 

[31]Margareth Smith, op.cit, h. 17.

 

[32]Sebuah Biara milik golongan samisat di tepi sungai Euprat, lihat Ibid., h. 18.

 

[33]Margareth Smith, op.cit., h. 21.

 

[34]Ibid.

 

[35]Ibid., h. 24.

 

[36]Ibid., h. 25.

 

[37]Ibid., h. 27.

 

[38]Ibid., h. 28-29.

 

[39]H. Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh (Cet. I; [t.t]: PT Raja Grafindo, 2000), h. 190.

 

[40]Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Cet.I; Jakarta: UI Press, 1986), h. 53.

 

[41]H. Ahmadi Isa, op.cit. h. 196.

 

[42]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 78.

 

[43]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, menyebutkan bahwa Islam terdiri dari aspek ibadah, aspek sejarah dan kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek teologi, aspek filsafat, aspek mistisme dan aspek pembaharuan (Cet.VI; Jakarta: Rajawali, 1987).

 

[44]Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Al-Anbiya (21): 107, QS. Saba (34): 28, (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), h. 461 dan 611.

 

[45]Disadur dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Cet.II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 159.

 

[46]Ibid., h. 159-160.

 

[47]Al-Ghazali, Ihyā ‘Ulūm al-Dîn , op.cit., h. 100.

 

[48]Al-Ghazali, Mizan al-Amal, ([t.t.]: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad ‘Ali Subhy wa Auladuh, 1328 H/1976 M), h. 12.

[49]Margareth Smith, op.cit., h. 225.

 

[50]Yahya Jaya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Cet. I; Jakarta Rahama, 1994), h. 12-13.

 

[51]Ibid., h. 14.

 

[52]Poerwantama, dkk. Seluk-beluk Filsafat Islam (Cet.IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 168.

 

[53]Margareth Smith, Op.cit., h. 226.

 

[54]Ibid.

By. Bakri, S.PdI

A. Latar Belakang

Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan  secara kreatif.

Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya.

Manusia telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi.. Ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan dan mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”[1]

Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi.  Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar  sejak abad ke 19.[2]

Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat rasionalisme, empirisme dan  materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian singkat di atas, maka penulis akan mengemukakan beberpa permaslahan pokok yang berkaitan dengan materi makalah ini, sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana  tinjauan epistemologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

3. Bagaimana tinjauan aksiologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

 

PEMBAHASAN

A. Tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan

Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[3]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.[4] Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[5]

Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[6]

Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.[7]

Dari berbagai pengertian yang dikemukakan  di atas menunjukkan bahwa makna Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.

Sekularisasi berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang melegalisasikan dalam  wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan. [8]

Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi, maka kita akan memulai  melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja. Pada  masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.

Pada abad  pertengahan ini tindakan  gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat itu tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat hukuman berat.  Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama/teologi yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan yang ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja.[9]

Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.[10]

Pada akhir abad pertengahan sebelum masuknya abad modern  muncullah gerakan  yang dalam sejarah filsafat  disebut Renaissance. Kata renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahun.[11]

Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan  jelas  kelak pada zaman modern[12].

Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting, Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,  semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu[13].

Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.

B. Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan

Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.

Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.

Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[14]

Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada tahapan ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.[15]

Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses penduniawian  terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah  hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yang  jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.[16]

Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan   yaitu :

  1. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata.
  2. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.

c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak  boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.

d.  Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal perbedaan agama.

e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan[17]

Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu  ciri dari sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.[18]

Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini, yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam  kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi  hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukm ukhrawi.[19]

Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu  bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.[20]

Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.

Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi matahari sedangkan agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak kemanapun arahnya.[21]

C. Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan

Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.[22]

Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.[23]

Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.

Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[24] Gambaran di atas adalah bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi ilmu pengetahuan.

Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).[25]

Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.

Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.[26]

Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut Abdurrahman Mas’ud[27], yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana mengeksploitasi jasad manusia.

Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar.[28] Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.

Menurut Mahdi Ghulsyani[29], dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrub kepada Allah. Pertama, dia dapat meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua, dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga, dia dapat membimbing orang lain. Keempat, dia dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah  diuraikan dalam pembahasan, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

a.       Secara ontologi sekularisasi ilmu pengetahuan memiliki arti suatu proses pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan  gereja yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.

b.      Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu pengetahuan berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan  iman sebagai penilai.

c.       Dalam pandangan aksiologi,  sekularisasi ilmu pengetahuan telah melahirkan terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni untuk kesejahteraan manusia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Ed.I (Cet.VI.; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Bakhtiar, Amsar. Filsafat Agama. Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bakhtiar, Amsar . Filsafat Ilm., Ed. I; Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Brush, Steve. Fundamentalisme terj. Herbhayu dan Noerlambang.  Fundamentalisme Pertautan Sikap Keberagamaan dan modernitas Jakarta: Erlangga, 2003.

Ghulsyani, Mahdi. The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj. oleh Agus Effendi. Cet. X; Bandung: Mizan, 1998.

Hadiwijono, Harun. Sari sejarah Filsafat Barat 2.  Yogyakarta: Kanisius , 1980.

Mahmud,  Natsir. Epistimologi dan Studi Kontemporer. Makassar : tp, 2000.

Majid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.  Cet I; Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008.

Mas’ud, Abdurrahman. Pendidikan Islam Paradigma Teologis Filosofis, dan Spiritualitas. Cet. I; Malang: UMM Press, 2008.

Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet.V; Bandung: Mizan, 1998.

Nihaya.  Filsafat Umum dari Yunani sampai Modern. Makassar: Berkah Utami, 1999.

Qardhawi, Yusuf. at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati terj. oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000.

Rusli Karim, Muh.  Agama Modernisasi dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

S. Praja, Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Cet.I; Bogor: Kencana, 2003.

Soetrino dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakart: Andi Ofset, 2007.

Surajiyo, Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Syadali,  Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet. II; Ciputat: Logos, 2002.

Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Ed.III     Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

 

 


[1] Muh. Rusli Karim,  Agama Modernisasi dan Sekularisasi, (Cet.I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 113.

[2] Ibid., h. 115-116

[3] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Cet.I; Bogor:Kencana, 2003), h. 188.

[4] Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,  Ed.III (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1015.

[5]Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 1.

 

[6] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet.V; Bandung: Mizan, 1998), h.188.

[7] Juhaya S. Praja, loc.cit.

[8] Nihaya,  Filsafat Umum, dari Yunani sampai Modern, (Makassar: Berkah Utami, 1999),     h. 43.

[9]Asmoro Achmadi,  Filsafat Umum, Ed.I (Cet.VI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),      h. 67.

[10]H. Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Cet. II;Bandung: Pustaka Setia, 2004),  h. 81.

[11]Harun Hadiwijono, Sari sejarah Filsafat Barat 2,  (Yogyakarta: Kanisius , 1980), h. 11.

[12] Ahmad Syadali dan Mudzakir, op.cit, h. 105.

[13]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 71-72.

[14] Natsir Mahmud,  Epistimologi dan Study Kontemporer,  (Makassar : tp, 2000), h. 1.

[15] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat ilmu dan metodologi penelitian, (Yogyakarta: Andi Ofset, 2007), h. 47.

[16]Nurcholis Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Edisi Baru, Cet I; Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008), h. 244.

[17]Nihaya,  Filsafat Umum,  op. cit., h. 136.

[18] Steve Brush, Fundamentalisme terj. Herbhayu dan Noerlambang,  Fundamentalisme Pertautan Sikap Keberagamaan dan Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 33.

[19] Nurcholis Majid, , op. cit, h. 262.

[20]Ibid.

[21] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, op.cit., h. 128.

[22]Surajiyo, Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 152.

[23]Ibid.

[24]Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Cet. II; Ciputat: Logos, 2002), h. 170.

[25]Ibid.

[26]Amsar Bakhtiar, Filsafat Agama, (Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 232.

[27]Lihat Abdurrahman Mas’ud, Pendidikan Islam Paradigma Teologis, Filosofis, dan Spiritualitas, (Cet. I; Malang: UMM Press, 2008), h. 67.

[28]Amsar Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Ed. I; Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 229.

[29]Lihat Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj.  oleh Agus Effendi, (Cet. X; Bandung: Mizan, 1998), h. 55-56.

By. Bakri, S.PdI

A. Latar Belakang


Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran agama Islam tentunya menempati posisi yang signifikan. Mengingat posisinya yang signifikan itu maka diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan eksistensi al-Qur’an. Selain al-Qur’an, setiap muslim juga mengenal adanya sumber hokum yang kedua yakni Hadis atau Sunnah, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi.

Keduanya menjadi sumber hukum Islam yang diyakini dan dipedomani oleh seluruh umat muslim. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan di antara keduanya harus diketahui oleh setiap muslim sebagai landasan awal dalam memahami keduanya lebih lanjut. Pemahaman yang baik terhadap keduanya akan mempengaruhi kualitas ibadah dari setiap muslim.

Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk kaum muslim atau suatu kelompok suku tertentu semata, tetapi kehadiarannya juga menjadi rahmat bagi seluruh makhluk. Universalitas kandungan isi al-Qur’an tidak disangsikan lagi, dari zaman dulu hingga sekarang. Al-Qur’an sebagai kitab yang lengkap tentunya dia memiliki kelebihan-kelebihan. Di antara kelebihan-kelebihan al-Qur’an ini adalah adanya nama-nama dan sifat-sifat yang telah dijelaskan oleh Allah swt. dalam padanya.

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab hidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.

Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.

B. Rumusan Masalah

 

Dengan latarbelakang di atas maka penulis membatasi isi makalah ini dalam rumusan masalah sebagai berikut :

1.    Bagaimana pengertian al-Qur’an?

2.    Bagaimana perbedaan antara al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi?

3.    Apa nama-nama dan sifat-sifat al-Qur’an?

C. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan atau kegunaan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.    Untuk memahami pengertian al-Qur’an.

2.    Untuk memahami perbedaan antara al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi.

3.    Untuk memahami nama-nama dan sifat-sifat al-Qur’an.

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Qur’an

Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:

1) Aspek Etimologis

Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran.[1]

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Umat ini menyakininya sebagai firman-firman Allah swt. yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi terakhir, Muhammad saw., untuk disampaikan kepada umat manusia hingga akhir zaman. Dari segi pengertian bahasa, ulama berbeda pendapat tentang asal kata ‘al-Qur’an’.[2]

Menurut Manna’ al-Quthan, qura’a berarti berkumpul dan menghimpun. Qira’ah, menghimpunkan huruf-huruf dan kata-kata itu antara satu sama lain pada waktu membaca al-Qur’an berasal dari qira’ah. Berasal dari kata-kata qara’a, qira’atan, dan qur’aanan[3]. Allah swt. berfirman :

¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ

Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakannya ikutilah bacaannya itu” (al-Qiyamah: 17-18)[4]

 

2) Aspek Terminologi

Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Di antaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an sebagai berikut :

$uZø9¨“tRur šø‹n=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»u‹ö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx«

Artinya : “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS. An-Nahl : 89).[5]

 

$¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4’n<Î) öNÍkÍh5u‘ šcrçŽ|³øtä†

 

Artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan” (QS. al-An’am : 38).[6]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertia al-Qur’an adalah Kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.[7]

Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub di antara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.

Dalam definisi di atas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.[8]

As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca. Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[9]

Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kalamullah.

2. Dengan perantara malaikat Jibril.

3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

4. Sebagai mu’jizat.

5. Ditulis dalam mushaf.

6. Dinukil secara mutawatir.

7. Dianggap ibadah orang yang membacanya.

8. Dimulai dengan surah al-Fatihah dan ditutup dengan surah an-Nas.

9. Sebagai ilmu laduni global.

10. Mencakup segala hakikat kebenaran.[10]

B. Perbedaan al-Qur’an, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

Sebelum megemukakan tentang perbedaan antara al-Qur’an dan Hadis Hudsi dan Hadis Nabawi, maka penulis memandang perlu untuk menjelaskan secara sepintas tentang definisi daripada hadis qudsi dan hadis nabawi.

Hadis Qudsi adalah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi saw. dengan mengatakan: “Allah berfirman…’ Nabi menyandarka perkataan itu kepada Allah beliau meriwayatkan dari Allah swt.[11] Menurut Ath Thibi sebagimana dikutip M. Hasbi Ash Shiddieqy bahwa hadis qudsi merupakan titahTuhan yang disampaikan kepad Nabi did lam mimpi atau dengan jalan ilham, lalu Nabi menerangkan apa yang dimimpikannya itu, dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkan kepada Allah. Hadis qudsi juga dsebut hadis ilahi dan hadis rabbany.[12]

Kata hadis atau al-hadis secara terminology, para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadis, terutama ahli hadis ahli ushul. Ahli hadis mendefenisikan hadis dengan “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau, dan segala keaadan beliau”.[13] Utang Ranuwijaya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal ihwal atau keadaan di sini adalah segala pemberitaan tentang Nabi saw., seperti yang berkaitann dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebisaan-kebisaannya. Dari sini sehingga ahli hadis memberikan pengertian bahwa hadis adalah segala ucapan, perkataan, keadaan atau perilaku Nabi saw..[14]

1. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadis Qudsi

a. Al-Qur’an al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang; sedang Hadis Qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mu’jizat.

b. Al-Qur’an al-Karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan: Allah Ta’ala telah berfirman. Sedang Hadis Qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah Hadis Qudsi itu merupakan nisbah buatan.

c. Seluruh isi Al-Qur’an al-Karim dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang Hadis Qudsi kebanyakan adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalany Hadis Qudsi itu sahih, terkadang hasan (baik) dan terkadag dhoif (lemah).

d. Al-Qur’an al-Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Sedang Hadis Qudsi maknanya sja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah saw.

e. Membaca al-Qur’an al-Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca di dalam sholat; sedang Hadis Qudsi tidak disuruh membacanya dalam sholat.[15] Hal ini sesuai dengan bunyi hadis :

من قرأ حر فا من كتا الله تعا لى فله حسنة، والحسنة بعشر أمثالها، لاأقول ألم حرف، ولكن ألف حرف، ولام حرف، وميم حرف.[رواه الترمذى]

Artinya :

“Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas spuluh kali lipata. Aku tidak mengatakan alif lam mim, itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf”.[16]

 

2. Perbedaan Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi

 

Hadis Nabawi itu ada dua:

Tauqifi. Yang bersifat tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segia pembicaran lebih banyak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.

Taufiqi. Yang bersifat taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena ia mempunyai tugas menjelskan al-Qur’an atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.

Dari sini jelas bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang dikui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.:

$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #“uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ

Artinya : “Dia (Muha mad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadaya.” (QS. An-Najm : 3-4).

 

Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui salah satu cara penurunan wahyu; sedang lafalnya dari Rasulullah saw.. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Ta’ala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan al-Qur’an; dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pula dianggap ibadah.[17] Demikianlah beberapa perbedaan di antara keduanya.

 

C. Nama-nama dan Sifat-sifat al-Qur’an

Nama yang diberikan Allah kepada al-Qur’an itu cukup banuak, di antaranya :

Pertama, al-Qur’an, berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

¨bÎ) #x‹»yd tb#uäöà)ø9$# “ωöku‰ ÓÉL¯=Ï9 š†Ïf ãPuqø%r&

 

“sesungguhnya al-Qur’an ini member pentunjuk kepada (jalan) yang lurus” (QS. Al-Isra’ : 9).

Kedua, al-Kitab, berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

ô‰s)s9 !$uZø9t“Rr& öNä3ö‹s9Î) $Y6»tGÅ2 ÏmŠÏù öNä.ãø.ό ( Ÿxsùr& šcqè=É)÷ès? ÇÊÉÈ

 

”Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Kitab kepada hambaNya, agar dia menjadi peringatan” (QS. Al-Anbiya’ :10).

 

Ketiga, al-Furqan, berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

x8u‘$t6s? “Ï%©!$# tA¨“tR tb$s%öàÿø9$# 4’n?tã ¾Ínωö6tã tbqä3u‹Ï9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉ‹tR ÇÊÈ

 

“Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hambaNya, agar dia menjadi peringatan” (QS. Al-Furqan : 1).

 

Keempat, az-Zikr, berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ

 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan az-Zikr, dan Kamilah yang memeliharnya” (QS. Al-Hijr : 9).

 

Kelima, Tanzil,[18] berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

¼çm¯RÎ)ur ã@ƒÍ”\tGs9 Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÒËÈ

 

Dan al-Qur’an ini Tanzil (diturunkan) dari Tuhan semesta alam” (QS. Asy-Syu’araa’ : 192).

 

Keenam, al-Huda. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu‘ ¡ Ïm‹Ïù ¡ “W‰èd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ

Kitan (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan kepadanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS. Al-Baqarh : 2).

 

Ketujuh, al-Busyra. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

t$uZø9¨“tRur šø‹n=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»u‹ö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« “Y‰èdur ZpyJômu‘ur 3“uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ

 

Dan Kami turunkan al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl : 89).

 

Kedelapan, al-Haq. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

‘,ysø9$# `ÏB y7Îi/¢‘ ( Ÿxsù ¨ûsðqä3s? z`ÏB tûïΎtIôJßJø9$# ÇÊÍÐÈ

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kmu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 147).

Kesembilan, al-Bayan. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

#x‹»yd ×b$u‹t/ Ĩ$¨Y=Ïj9 “Y‰èdur ×psàÏãöqtBur šúüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ

 

“(Al-Qur’an) ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran : 138).

 

Kesepuluh, asy-Syifa’. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

ô‰s% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§‘ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 ’Îû ͑r߉Á9$#

“Sesungguhnya telah dating kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada dalam dada” (QS. Yunus : 57).

Al-Qur’an da al-Kitab lebih popular dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata: “Ia dinamakan Qur’an karena ia “dibaca” dengan lisan, dan dinamakan al-Kitab karena ia “ditulis” dengan pena. Kedua nama ini menunjukkan makna yang sesui dengan kenyataannya.

Penamaan Qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknya ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila di antara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya.[19]

Allah telah melukiskan al-Qur’an dengan beberapa sifat, di antaranya :

 

Pertama, an-Nur. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

$pkš‰r’¯»tƒ â¨$¨Z9$# ô‰s% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§‘ !$uZø9t“Rr&ur öNä3ö‹s9Î) #Y‘qçR $YYÎ6•B ÇÊÐÍÈ

“Wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang”(QS.An-Nisa’ : 174).

 

Kedua, Mau’izah, Syifa’, Huda, Rahmah, dan. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

$pkš‰r’¯»tƒ â¨$¨Z9$# ô‰s% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§‘ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 ’Îû ͑r߉Á9$# “Y‰èdur ×puH÷qu‘ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ

 

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus : 57).

 

Ketiga, Mubin. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

Ÿô‰s% Nà2uä!%y` šÆÏiB «!$# ֑qçR Ò=»tGÅ2ur ÑúüÎ7•B ÇÊÎÈ

 

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerankan(QS. Al-Maidah : 15).

 

Keempat, Mubarak. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

#x‹»ydur ë=»tGÏ. çm»oYø9t“Rr& Ô8u‘$t6ãB ä-Ïd‰|Á•B “Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒy‰tƒ u

 

“Dan al-Qur’an ini adalah Kitab yang telah kami berkahi; membenrkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya” (QS. Al-An’am : 92).

 

Kelima, Busyra’. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

$]%Ïd‰|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒy‰tƒ “Y‰èdur 2”uŽô³ç0ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÒÐÈ

“…yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-Baqarah : 97).

 

Keenam,Aziz. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ̍ø.Ïe%!$$Î/ $£Js9 öNèduä!%y` ( ¼çm¯RÎ)ur ë=»tGÅ3s9 ֓ƒÌ“tã ÇÍÊÈ

 

“Mereka yang mengingkari az-Zikr ketika Qur’an itu datang kepada mereka,(mereka pasti akan celaka). Al-Qur’an adalah kitab yang mulia(QS. Fussilat : 41).

Ketujuh, Majid. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

ö@t/ uqèd ×b#uäöè% Ӊ‹Åg¤C ÇËÊÈ

 

“Bahkan yang mereka dustakan itu adalah Qur’an yang dihormati(QS. Al-Buruj : 21).

 

Kedelapan, Basyir. Berfirman Tuhan dalam al-Qur’an:

 

 

Ò=»tGÏ. ôMn=Å_Áèù ¼çmçG»tƒ#uä $ºR#uäöè% $|‹Î/ttã 5Qöqs)Ïj9 tbqßJn=ôètƒ ÇÌÈ   #ZŽÏ±o0 #\ƒÉ‹tRur .. ÇÍÈ

 

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui; yang membawa khabar gembira dan yang membawa peringatan” (QS. Fussilat : 3-4).

 

Setiap penamaan atau pelukisan itu merupakan salah satu makna dalam al-Qur’an.[20] Aneka ragam nama dan sifat yng diberikan oleh Allah Ta’ala terhadap kitab ini menunjukkan kesempurnaan dan keistimewaannya dibandigkan dengan kitab-kitab sebelumnya. Karena Qur’an diturunkan untuk melengkapi atau menggenapi firman Tuhan dalam kitab-kitab terdahulu.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka penulis mengambil konklusi sebagai berikut :

a)      Al-Qur’an adalah Kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.

b)      Perbedaan mendasar dari al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi adalah terletak pada posisi makna dan lafal. Al-Qur’an dan Hadis Qudsi, keduanya memiliki makna yang dinisbahkan kepada Allah secara mutlak, sedang Hadis Nabawi penyandarannya kepada Rasulullah saw.

c)      Nama-nama lain al-Qur’an di antaranya; al-Qur’an itu sendiri, al-KItab, al-Furqan, az-Zikr, at-Tanzil, al-Huda, al-Busyra, al-Haq, asy-Syifa’, dan al-Bayan. Sedangkan sifat-sifatnya antara lain; Nur, Mau’izah, Syifa’, Huda, Rahmah, Mubin, Mubarak, Busyra, Aziz, Majid, dan Basyir. Semua nama dan sifat ini disematkan oleh Allah Ta’ala kepada kitab suci umat muslim ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir M.. Ulumul Hadis. Cet. X; Bandung: [t.p]., 2000.

Al-Amidi. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam. Muassasah Al-Halaby: Kairo, t.th.

 

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: CV. Karya Utama, 2005.

 

DEPDIKNAS. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I, Ed. IV; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

 

Hamzah, Muchotob. Studi Al-Qur’an Komprehensif. t.t. Gama Media, 2003.

 

Mardan. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.

al-Qattan, Khalil, Manna. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. oleh Mudzakir. [t.t.] [t.p.] [t.th].

 

al Quthan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Halimuddin, Pembahasan Ilmu al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.

 

Saleh, Subhi. Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah: Mesir, 1404H.

 

As-Shabuni, M. Ali. Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Arshad, t.t.

 

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

 

 


[1]Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Muassasah Ar-Risalah: Mesir, 1404H), h. 19.

[2]Lihat selengkapnya Mardan, Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2009), h. 27.

[3]Manna’ al Quthan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Terj. oleh  Halimuddin dengan judul Pembahasan Ilmu al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 11.

[4]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Karya Utama, 2005), h. 854.

[5]Ibid., h. 377.

[6]Ibid., h. 177.

[7]DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. I, Ed. IV; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 44.

[8]Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Muassasah Al-Halaby: Kairo, t.th.), h. 147-148.

[9]M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, (Dar Al-Arshad: Beirut, t.t.), h. 10.

[10]Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, (t.t. Gama Media, 2003), h.1-2.

[11]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 40.

[12]Ibib., h. 41.

[13]Ibid., h. 22.

[14]Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Cet. X; Bandung: [t.p]., 2000), h. 11.

[15] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. oleh Mudzakir, [t.t.] [t.p.] [t.th], h. 26-27.

[16]Diriwayatkan oleh Tirmizi dari Ibn Mas’ud; yang mengatakan hadis itu hasan dan sahih.

[17]Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 28-29.

[18]Ibid., h. 18-19.

[19]Ibid.

[20]Ibid., h. 20-22.